Asuhan Keperawatan MORBUS HANSEN

                                         ASUHAN KEPERAWATAN MORBUS HANSEN


MORBUS HANSEN (KUSTA)
A. Pengertian
 Morbus Hansen adalah penyakit infeksi yang kronis, disebabkan oleh Mikrobakterium leprae yang obligat intra seluler yang menyerang syaraf perifer, kulit, mukosa traktus respiratorik bagian Atas kemudian menyerang organ-organ lain kecuali susunan saraf pusat. (Mansjoer Arif, 2000)
 Kusta adalah penyakit infeksi kronis yang di sebabkan oleh mycobacterium lepra yang interseluler obligat, yang pertama menyerang saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, sistem endotelial, mata, otot, tulang, dan testis (djuanda, 4.1997 )
 Kusta adalah penyakit yang menahun dan disebabkan oleh kuman kusta (mikobakterium leprae) yang menyerang syaraf tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya. (Depkes RI, 1998)
B.Penyebab
 Penyebabnya adalah mycobacterium leprae
 Kuman penyebab mycobacterium leprae di temukan oleh GA,Hansen pada tahun 1874 di norwegai.
 Berbentuk basil dengan ukuran 3 – 8 UmX0,5 Um;
 Bersifat gram positif, tahan asam tidak berspora, tidak bergerak dan alcohol.
 Mikobakterium leprae merupakan basil tahan asam (BTA) bersifat obligat intraseluler, menyerang saraf perifer, kulit dan organ lain seperti mukosa saluran nafas bagian atas, hati, sumsum tulang kecuali susunan saraf pusat. Masa membelah diri mikobakterium leprae 12-21 hari dan masa tunasnya antara 40 hari-40 tahun. Kuman kusta berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-8 micro, lebar 0,2-0,5 micro biasanya berkelompok dan ada yang disebar satu-satu, hidup dalam sel dan BTA.
C.Tanda Pasti Dan Derajat Cacat Kusta
A. Tanda pasti kusta adalah:
1. Kulit dengan bercak putih atau kemerahan dengan mati rasa
2. Penebalan dalm saraf tepi di sertai kelainan berupa mati rasa dan kelemahan pada otot tangan, kaki, dan mata
3. Pada pemeriksaan kulit BTA +
Dikatakan menderita kusta apabila di temukan satau atau lebih dari tanda pasi kusta dalam waktu pemeriksaan klinis. ( dirjen PPM & PL, 2003 )

B. Derajat cacat kusta
WHO ( 19995 ) dalam djuanda, A, 1997 membagi cacat kusta menjadi 3 tingkat ke cacatan, yaitu :
1. Cacat pada tangan dan kaki
• tingkat 0 : tidak ada anestesi, dan kelainan anatomis
• tingkat 1 : ada anestesi, tetapi tidak ada kelainan anatomis
• tingkat 2 : terdapat kelainan anatomis
2. Cacat pada mata
• tingkat 0 : tidak ada kelainan pada mata ( termasuk visus )
• tingkat 1 : ada kelianan mata, tetapi tidak terlihat, visus sedikit berkurang
• tingkat 2 : ada lagoptalmus dan visus sangat terganggu ( visus 6/60, dapat menghitung jari pada jarak 6m )
D. Jenis-Jenis Cacat Kusta
Menurut djuanda, A, 1997 jenis dari cacat kusta di kelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu :
1. cacat primer adalah kelompok cacat yang di sebabkan langsung oleh aktivitas penyakit, terutama kerusakan akibat respon jarinagn terhadap m.laprae.
yang termasuk ke dalam cacata primer adalah :
a. cacat pada fungsi saraf :
• fungsi saraf sensorik misalnya : anestesi
• fungsi saraf motorik misalnya : daw hand, wrist drop, fot drop, clow tes, lagoptalmus
• fungsi saraf otonom dapat menyebabkan kulit menjadi kering dan elastisitas kulit berkurang, serta gangguan reflek vasodilatasi
b. inflamasi kuman pada kulit dan jaringan subkutan menyebabkan kulit berkerut dan berlipat-lipat
c. cacat pada jaingan lain akibat infiltrasi kuman kusta dapat terjadi pada tendon, ligamen, tulang rawan, tulang, testis, dan bola mata.
2. cacat sekunder
1. cacat ini terjadi akibat cacat primer, terutama adanya kerusakan saraf sensorik, motorik, dan otonom
2. kelumpuhan motorik menyebabkan kontraktur, sehingga terjadi gangguan berjalan dn mudah terjadinya luka
3. lagoptalmus menyebabkan kornea menjadi kering dan memudahkan terjadinya kreatitis
4. kelumpuhan saraf otonom menjadikan kulit kering dan berkurangnya elastisitas, akibat kulit mudah retak dan terjadi infeksi sekunder.
E. Klasifikasi
Tujuan Kalsifikasi adalah:
1. Penentuan prognosis
2. Penentuan terapi
3. Penentuan kriteria bebas dari obat dan pengawasan
4. Mengantisipsi terjadinya reaksi
5. Penyeragaman secara internasional –> kepentingan epidemiologis
Beberapa klasifikasi MH antara lain
1. Klasifikasi Internasional Madrid (1953)
• Lepromatous ( L)
• Tuberculoid (T)
• Indeterminate (I)
• Borderline (B)
2. Klasifikasi Ridley Jopling (1962)
• TT, BT, BB, BL, LL
3. Klasifikasi WHO (1981)
• Paucibacillary : BI –> Negatif
• Multibacillary –> Positif
• Dibagi menjadi 2 :
No. Kelainan kulit & hasil pemeriksaan Pause Basiler Multiple Basiler
1. Bercak (makula)
• jumlah
• ukuran
• distribusi
• konsistensi
• batas
• kehilangan rasa pada bercak

• kehilangan berkemampuan berkeringat,berbulu rontok pada bercak • 1-5
• Kecil dan besar
• Unilateral atau bilateral asimetris
• Kering dan kasar
• Tegas
• Selalu ada dan jelas

• Bercak tidak berkeringat, ada bulu rontok pada bercak • Banyak
• Kecil-kecil
• Bilateral, simetris
• Halus, berkilat
• Kurang tegas
• Biasanya tidak jelas, jika ada terjadi pada yang sudah lanjut

• Bercak masih berkeringat, bulu tidak rontok
2. Infiltrat
• kulit
• membrana mukosa tersumbat perdarahan dihidung • Tidak ada
• Tidak pernah ada • Ada,kadang-kadang tidak ada
• Ada,kadang-kadang tidak ada
3. Ciri hidung ”central healing” penyembuhan ditengah a. punched out lession
b. medarosis
c. ginecomastia
d. hidung pelana
e. suara sengau
4. Nodulus Tidak ada Kadang-kadang ada
5. Penebalan saraf tepi Lebih sering terjadi dini, asimetris Terjadi pada yang lanjut biasanya lebih dari 1 dan simetris
6. Deformitas cacat Biasanya asimetris terjadi dini Terjadi pada stadium lanjut
7. Apusan BTA negatif BTA positif
Untuk para petugas kesehatan di lapangan, bentuk klinis penyakit kusta cukup dibedakan atas dua jenis yaitu:

1. Kusta bentuk kering (tipe tuberkuloid)
• Merupakan bentuk yang tidak menular
• Kelainan kulit berupa bercak keputihan sebesar uang logam atau lebih, jumlahnya biasanya hanya beberapa, sering di pipi, punggung, pantat, paha atau lengan. Bercak tampak kering, perasaan kulit hilang sama sekali, kadang-kadang tepinya meninggi
• Pada tipe ini lebih sering didapatkan kelainan urat saraf tepi pada, sering gejala kulit tak begitu menonjol tetapi gangguan saraf lebih jelas
• Komplikasi saraf serta kecacatan relatif lebih sering terjadi dan timbul lebih awal dari pada bentuk basah
• Pemeriksaan bakteriologis sering kali negatif, berarti tidak ditemukan adanya kuman penyebab
• Bentuk ini merupakan yang paling banyak didapatkan di indonesia dan terjadi pada orang yang daya tahan tubuhnya terhadap kuman kusta cukup tinggi

2. Kusta bentuk basah (tipe lepromatosa)
• Merupakan bentuk menular karena banyak kuman dapat ditemukan baik di selaput lendir hidung, kulit maupun organ tubuh lain
• Jumlahnya lebih sedikit dibandingkan kusta bentuk kering dan terjadi pada orang yang daya tahan tubuhnya rendah dalam menghadapi kuman kusta
• Kelainan kulit bisa berupa bercak kamarahan, bisa kecil-kecil dan tersebar diseluruh badan ataupun sebagai penebalan kulit yang luas (infiltrat) yang tampak mengkilap dan berminyak. Bila juga sebagai benjolan-benjolan merah sebesar biji jagung yang sebesar di badan, muka dan daun telinga
• Sering disertai rontoknya alis mata, menebalnya cuping telinga dan kadang-kadang terjadi hidung pelana karena rusaknya tulang rawan hidung
• Kecacatan pada bentuk ini umumnya terjadi pada fase lanjut dari perjalanan penyakit
• Pada bentuk yang parah bisa terjadi ”muka singa” (facies leonina)
Diantara kedua bentuk klinis ini, didapatkan bentuk pertengahan atau perbatasan (tipe borderline) yang gejala-gejalanya merupakan peralihan antara keduanya. Bentuk ini dalam pengobatannya dimasukkan jenis kusta basah.
F.Tanda Dan Gejala
Dapat menyerang kulit, saraf, otot, ras, mata, jantung, testis
• Pada kulit –> tdp makula yg hipopigmentasi yg kurang rasa/tidak rasa, kulit kering dan pecah-pecah, terjadi madarosis
• Pada saraf –> Sensoris : hipestesi/anastesi –> ulkus
• Motoris : Paralisa otot, atropi otot dan kontraktur
• Otonom : gangguan pengeluaran keringat
• Penebalan saraf tepi
• Testis –> orchitis
• Mata –> Keratitis, iridosiklitis
• Secara umum permukaan tubuh yang sering diserang adalah permukaan tubuh yang memiliki sushu yg rendah seperti : muka, telinga, hidung dan ekstremitas
• Tanda-tanda khas pada makula adalah 5 A (anastesi, achromi,atropi,anhidrosis, alopesia)
Ada 3 tanda cardinal pada penyakit kusta bila salah satunya ada, tanda tersebut sudah cukup untuk menetapkan diagnosis penyakit :
1. lesi kulit yang anestesi;
2. penebalan saraf perifer;
3. ditemukan mycobacterium leprae.

Selain itu menurut Ridley dan toppling, kusta dapat dikelompokan berdasarkan gambaran klinik bekteriologi, histopatologi, dan imonologik menjadi 5 kelompok :

1. tipe tuberkuloid-tuberkuloid (TT).
Lesi mengenai kulit/saraf, bisa satu atau beberapa. Dapat berupa macula/plakat, berbatas jelas, dibagian tengah didapatkan lesi yang mengalami regresi atau penyembuhan, permukaan lesi dapat bersisik dengan tepi yang meninggi, gejalanya dapat disertai penebalan saraf perifer yang biasanya teraba, kelemahan otot dan sedikit rasa gatal.

2. tipe Borderline tuberkuloid (BT).
Lesi mengenai tepi TT, berupa macula anestesi/plak, sering disertai lesi satelit dipinggirnya, tetapi gambaran hipopigmentasi, gangguan saraf tidak seberat tipe tuberkuloid dan biasanya asimetrik.

3. tipe Borderline-Borderline (BB).
Merupakan tipe II yang paling tidak stabil, dan jarang dijumpai, lesi dapat berbentuk macula infilit, permukaannya dapat mengkilat, batas kurang jelas, jumlah melebihi tipe BT dan cenderung simetrik, bentuk, ukuran dan distribusinya bervariasi. Bisa didapat lesi punchedout yaitu hipopigmentasi yang oral pada bagian tengah, merupakan cirri khas tipe ini.

4. tipe Borderline Lepromatous (BL).
Lesi dimulai dengan macula, awalnya sedikit darem dengan cepat menyebar keseluruhan badan, macula lebih jelas dan lebih bervariasi bentuknya. Walau masih kecil papel dan nodus lebih tegas dengan distribusi yang hampir simetrik. Tanda-tanda kerusakan saraf berupa hilangnya sensasi, hipopigmentasi, berkurangnya kerinngat, dan gugurnya rambut lebih cepat muncul dibandingkan dengan tipe lepromatous dengan penebalan saraf yang dapat teraba pada tempat predileksi dikulit.

5. tipe Lepromatous-Lepromatous (LL).
Jumlah lesi sangat banyak, simetrik, permukaan halus, lebih eritem, mengkilap, terbatas tidak tegas dan tidak ditemukan gangguan anestesi dan antidrosis pada stadium dini, distribusi lesi khas, mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping hidung, dibadan mengenai bagian belakang yang dingin, lengan punggung tangan dan permukaan ekstentor tungkai bawah, pada stadium lanjut tampak penebalan kulit yang progresif, cuping telinga menebal, garis muka menjadi kasar dan cekung, dapat disertai madarosis, iritis, dan keratitis. Dapat pula terjadi deforhitas hidung, dapat dijumpai pembesaran kelenjar limfe, orkitis dan atropi testis.

Stadium lanjutan :
 Penebalan kulit progresif
 Cuping telinga menebal
 Garis muka kasar dan cekung membentuk fasies leonine, dapat disertai madarosis, intis dan keratitis.
 Deformitas hidung
 Pembesaran kelenjar limfe, orkitis atrofi, testis
 Kerusakan saraf luas gejala stocking dan glouses anestesi.
 Penyakit progresif, makula dan popul baru.
 Tombul lesi lama terjadi plakat dan nodus.
 Serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin/fibrosis menyebabkan
 anestasi dan pengecilan tangan dan kaki.
 Tipe Interminate ( tipe yang tidak termasuk dalam klasifikasi Redley &Jopling)
 Beberapa macula hipopigmentasi, sedikit sisik dan kulit sekitar normal.
 Lokasi bahian ekstensor ekstremitas, bokong dan muka, kadang-kadang dapat ditemukan macula hipestesi dan sedikit penebalan saraf.
 Merupakan tanda interminate pada 20%-80% kasus kusta.

Gambaran klinis organ lain
 Mata : iritis, iridosiklitis, gangguan visus sampai kebutaan
 Tulang rawan : epistaksis, hidung pelana
 Tulang & sendi : absorbsi, mutilasi, artritis
 Lidah : ulkus, nodus
 Larings : suara parau
 Testis : ginekomastia, epididimitis akut, orkitis, atrofi
 Kelenjar limfe : limfadenitis
 Rambut : alopesia, madarosis
 Ginjal : glomerulonefritis, amilodosis ginjal, pielonefritis, nefritis interstitial.
G.Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan Bakterioskopik
Memiliki lesi yang paling aktif yaitu : yang paling erythematous dan paling infiltratif.
Secara topografik yang paling baik adalah muka dan telinga.
Denngan menggunakan Vaccinosteil dibuat goresan sampai didermis, diputar 90 derajat dan dicongkelkan, dari bahan tadi dibuat sediaan apus dan diwarnai Zeihlnielsen. Pada pemeriksaan akan tampak batang-batang merah yang utuh, terputus-putus atau granuler.
2. Test Mitsuda
Berupa penyuntikan lepromin secara intrakutan pada lengan, yang hasilnya dapat dibaca setelah 3 – 4 minggu kemudian bila timbul infiltrat di tempat penyuntikan berarti lepromim test positif.
Pemeriksaan Bakteriologis
Ketentuan pengambilan sediaan adalah sebagai berikut:
1. Sediaan diambil dari kelainan kulit yang paling aktif.
2. Kulit muka sebaiknya dihindari karena alasan kosmetik kecuali tidak ditemukan lesi ditempat lain.
3. Pemeriksaan ulangan dilakukan pada lesi kulit yang sama dan bila perlu ditambah dengan lesi kulit yang baru timbul.
4. Lokasi pengambilan sediaan apus untuk pemeriksaan mikobakterium leprae ialah:
a. Cuping telinga kiri atau kanan
b. Dua sampai empat lesi kulit yang aktif ditempat lain
5. Sediaan dari selaput lendir hidung sebaiknya dihindari karena:
a. Tidak menyenangkan pasien
b. Positif palsu karena ada mikobakterium lain
c. Tidak pernah ditemukan mikobakterium leprae pada selaput lendir hidung apabila sedian apus kulit negatif.
d. Pada pengobatan, pemeriksaan bakterioskopis selaput lendir hidung lebih dulu negatif dari pada sediaan kulit ditempat lain.
6. Indikasi pengambilan sediaan apus kulit:
a. Semua orang yang dicurigai menderita kusta
b. Semua pasien baru yang didiagnosis secara klinis sebagai pasien kusta
c. Semua pasien kusta yang diduga kambuh (relaps) atau karena tersangka kuman resisten terhadap obat
d. Semua pasien MB setiap 1 tahun sekali
7. Pemerikaan bakteriologis dilakukan dengan pewarnaan tahan asam, yaitu ziehl neelsen atau kinyoun gabett
8. Cara menghitung BTA dalam lapangan mikroskop ada 3 metode yaitu cara zig zag, huruf z, dan setengah atau seperempat lingkaran. Bentuk kuman yang mungkin ditemukan adalah bentuk utuh (solid), pecah-pecah (fragmented), granula (granulates), globus dan clumps.

Indeks Bakteri (IB):
Merupakan ukuran semikuantitatif kepadatan BTA dalam sediaan hapus. IB digunakan untuk menentukan tipe kusta dan mengevaluasi hasil pengobatan. Penilaian dilakukan menurut skala logaritma RIDLEY sebagai berikut:
0 :bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang
1 :bila 1-10 BTA dalam 100 lapangan pandang
2 :bila 1-10 BTA dalam 10 lapangan pandang
3 :bila 1-10 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
4 :bila 11-100 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
5 :bila 101-1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
6 :bila >1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang

Indeks Morfologi (IM)
Merupakan persentase BTA bentuk utuh terhadap seluruh BTA. IM digunakan untuk mengetahui daya penularan kuman, mengevaluasi hasil pengobatan, dan membantu menentukan resistensi terhadap obat.
H.Patofisiologi
Mekanisme penularan yang tepat belum diketahui. Beberapa hipotesis telah dikemukakan seperti adanya kontak dekat dan penularan dari udara. Selain manusia, hewan yang dapat tekena kusta adalah armadilo, simpanse, dan monyet pemakan kepiting.Terdapat bukti bahwa tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman M. leprae menderita kusta, dan diduga faktor genetika juga ikut berperan, setelah melalui penelitian dan pengamatan pada kelompok penyakit kusta di keluarga tertentu. Belum diketahui pula mengapa dapat terjadi tipe kusta yang berbeda pada setiap individu. Faktor ketidakcukupan gizi juga diduga merupakan faktor penyebab.
Penyakit ini sering dipercaya bahwa penularannya disebabkan oleh kontak antara orang yang terinfeksi dan orang yang sehat. Dalam penelitian terhadap insidensi, tingkat infeksi untuk kontak lepra lepromatosa beragam dari 6,2 per 1000 per tahun di Cebu, Philipinahingga 55,8 per 1000 per tahun di India Selatan.
Dua pintu keluar dari M. leprae dari tubuh manusia diperkirakan adalah kulit dan mukosa hidung. Telah dibuktikan bahwa kasus lepromatosa menunjukkan adanaya sejumlah organisme di dermis kulit. Bagaimanapun masih belum dapat dibuktikan bahwa organisme tersebut dapat berpindah ke permukaan kulit. Walaupun terdapat laporan bahwa ditemukanya bakteri tahan asam di epitel deskuamosa di kulit, Weddel et al melaporkan bahwa mereka tidak menemukan bakteri tahan asam di epidermis. Dalam penelitian terbaru, Job et al menemukan adanya sejumlah M. leprae yang besar di lapisan keratin superfisial kulit di penderita kusta lepromatosa. Hal ini membentuk sebuah pendugaan bahwa organisme tersebut dapat keluar melalui kelenjar keringat.
Pentingnya mukosa hidung telah dikemukakan oleh Schäffer pada 1898. Jumlah dari bakteri dari lesi mukosa hidung di kusta lepromatosa, menurut Shepard, antara 10.000 hingga 10.000.000 bakteri.Pedley melaporkan bahwa sebagian besar pasien lepromatosa memperlihatkan adanya bakteri di sekret hidung mereka. Davey dan Rees mengindikasi bahwa sekret hidung dari pasien lepromatosa dapat memproduksi 10.000.000 organisme per hari.
Pintu masuk dari M. leprae ke tubuh manusia masih menjadi tanda tanya. Saat ini diperkirakan bahwa kulit dan saluran pernapasan atas menjadi gerbang dari masuknya bakteri. Rees dan McDougall telah sukses mencoba penularan kusta melalui aerosol di mencit yang ditekan sistem imunnya. Laporan yang berhasil juga dikemukakan dengan pencobaan pada mencit dengan pemaparan bakteri di lubang pernapasan. Banyak ilmuwan yang mempercayai bahwa saluran pernapasan adalah rute yang paling dimungkinkan menjadi gerbang masuknya bakteri, walaupun demikian pendapat mengenai kulit belum dapat disingkirkan.
Masa inkubasi pasti dari kusta belum dapat dikemukakan. Beberapa peneliti berusaha mengukur masa inkubasinya. Masa inkubasi minimum dilaporkan adalah beberapa minggu, berdasarkan adanya kasus kusta pada bayi muda. Masa inkubasi maksimum dilaporkan selama 30 tahun. Hal ini dilaporan berdasarkan pengamatan pada veteran perang yang pernah terekspos di daerah endemik dan kemudian berpindah ke daerah non-endemik. Secara umum, telah disetujui, bahwa masa inkubasi rata-rata dari kusta adalah 3-5 tahun.
I.Diagnosis
Untuk mendiagnosis penyakit kusta diperlukan tanda-tanda utama (cardinal sign) yaitu:
1. bagian kulit dengan hipopigmentasi atau eritematous dengan kehilangan sebagian (hipestesi) atau seluruh (anastesi dari perasaan kulit thd rasa suhu, nyeri dan sentuh
2. kerusakan (penebalan atau nyeri) dari saraf kutan atau saraf perifer pada tempat-tempat predileksi
3. smear kulit yang diambil dengan tekhnik standar menunjukkan adanya kuman dengan morfologi M. Leparae yang khas
dibutuhkan minimal satu tanda cardinal untuk mendiagnosa penyakit Morbus Hansen
J.Patogenesis
Setelah mikobakterium leprae masuk kedalam tubuh, perkembangan penyakit kusta bergantung pada kerentanan seseorang. Respon setelah masa tunas dilampaui tergantung pada derajat sistem imunitas seluler (celuler midialet immune) pasien. Kalau sistem imunitas seluler tinggi, penyakit berkembang kearah tuberkoloid dan bila rendah berkembang kearah lepromatosa. Mikobakterium leprae berpredileksi didaerah-daerah yang relatif dingin, yaitu daerah akral dengan vaskularisasi yang sedikit.
Derajat penyakit tidak selalu sebanding dengan derajat infeksi karena imun pada tiap pasien berbeda. Gejala klinis lebih sebanding dengan tingkat reaksi seluler dari pada intensitas infeksi oleh karena itu penyakit kusta disebut penyakit imonologik.
K.Pencegahan
1. Penerangan dengan memberikan sedikit penjelasan tentang seluk beluk penyakit lepra pada pasien;
2. Pengobatan profilaksis dengan dosis yang lebih rendah dari pada dosis therapeutic;
3. Vaksinasi dengan BCG yang juga mempunyai daya profilaksis terhadap lepra.

L.Pengobatan
Perawatan Luka
Perawatan pada morbus hansen umumnya untuk mencegah kecacatan. Terjadinya cacat pada kusta disebabkan oleh kerusakan fungsi saraf tepi, baik karena kuman kusta maupun karena peradangan sewaktu keadaan reaksi netral.
Prinsip dari perawatan luka adalah imobilisasi dengan mengistirahatkan kaki yang luka (misalnya : tongkat, bidai ), merawat luka setiap hari dengan membersihkannya, membuang jaringan mati, dan menipiskan penebalan kulit yang selanjutnya di kompres.
Perawatan luka
§ Luka dibersihkan dengan sabun pada waktu direndam
§ Luka dibalut agar bersih
§ Bagian luka diistirahatkan dari tekanan
§ Bila bengkak, panas, bau bawa ke puskesmas
1.perawatan mata yang tidak tertutup rapat ( lagoptalmus )
1. gunakanlah cermin setiap hari untuk melihat apakah ada mata yang merah, bila ada laporkan ke petugas puskesmas
2. tariklah kulit di sudut mata, ke arah luar denganh jari tangan sebanyak 10 kali setiap latihan, lakukanlah 3 kali sehari.
3. lindungilah mata dari sinar matahari, debu dan angin
atau
§ Penderita memeriksa mata setiap hari apakah ada kemerahan atau kotoran
§ Penderita harus ingat sering kedip dengan kuat
§ Mata perlu dilindungi dari kekeringan dan debu
2.perawatan tangan yang mati rasa ( anestesi )
1. lindungilah tangan yang mati rasa dari panas, benda kasar dan tajam untuk mencegah luka
2. rendamlah tangan setiap hari dengan air bersih dalam baskom selama 30 menit untuk menjadikan kulit lembab.
3. setelah di rendam gosok kulit menebal dengan batu apung untuk menjadikan kulit lembut.
4. olesi dengan minyak kelapa bersih dalam keadaan basah.
Atau
§ Penderita memeriksa tangannya tiap hari untuk mencari tanda- tanda luka, melepuh
§ Perlu direndam setiap hari dengan air dingin selama lebih kurang setengah jam
§ Keadaan basah diolesi minyak
§ Kulit yang tebal digosok agar tipis dan halus
§ Jari bengkok diurut agar lurus dan sendi-sendi tidak kaku
§ Tangan mati rasa dilindungi dari panas, benda tajam, luka

3.perawatan tangan yang bengkok ( kontraktur )
1. latih jari tangan yang bengkok 3 kali sehari, supaya jari-jari tangan tidak menjadi kaku.
2. rendamlah tangan 3 kali sehari dengan air bersihselama 30 menit dan olesi tangan yang bengkok dengan minyak kelapa nersih dalam keadaan basah.
3. luruskan jari-jari tangan yang bengkok dengan tangan yang lain sebanyak 20 kali tiap latihan, lakukan 3 kali sehari
4. taruh tangan di atas paha dan luruskan jari-jari tangan sebanyak 20 kali setiap latihan, lakukan 3 kali sehari
4.Perawatan kaki yang mati rasa
§ Penderita memeriksa kaki tiap hari
§ Kaki direndam dalam air dingin lebih kurang ½ jam
§ Masih basah diolesi minyak
§ Kulit yang keras digosok agar tipis dan halus
§ Jari-jari bengkok diurut lurus
§ Kaki mati rasa dilindungi
4.pencegahan luka
1. selalu memakai alas kaki
2. jangan berjalan terlalu lama
3. berhati-hati terhadap api, air panas, dll
4. behati-hati saat duduk bersila
5. memeriksa keadaan kaki dan kulit apakah ada tanda-tanda kemerahan, melepuh.
5.perawatan tangan yang luka
1. kurangi tekanan pada tangan yang luka
2. luka harus selalu bersih, bila luka panas, bau dan bengkak segera ke puskesmas
3. rendamlah tiap hari tangan dengan air bersih selama 30 menit
4. balut luka dengan air bersih

Tanda penderita melaksanakan perawatan diri:
1) Kulit halus dan berminyak
2) Tidak ada kulit tebal dan keras
3) Luka dibungkus dan bersih
4) Jari-jari bengkak menjadi kaku

TERAPI MEDIK
Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah penyembuhan pasien kusta dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari pasien kusta terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk menurunkan insiden penyakit.
Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin, klofazimin, dan DDS dimulai tahun 1981. Program ini bertujuan untuk mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus obat, dan mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan.
Rejimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai rekomendasi WHO 1995 sebagai berikut:

a) Tipe PB ( PAUSE BASILER)
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa :
• Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugas
• DDS tablet 100 mg/hari diminum di rumah
Pengobatan 6 dosis diselesaikan dalam 6-9 bulan dan setelah selesai minum 6 dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya masih aktif. Menurut WHO(1995) tidak lagi dinyatakan RFT tetapi menggunakan istilah Completion Of Treatment Cure dan pasien tidak lagi dalam pengawasan.
b) Tipe MB ( MULTI BASILER)
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa:
• Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugas
• Klofazimin 300mg/bln diminum didepan petugas dilanjutkan dengan klofazimin 50 mg /hari diminum di rumah
• DDS 100 mg/hari diminum dirumah
Pengobatan 24 dosis diselesaikan dalam waktu maksimal 36 bulan sesudah selesai minum 24 dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya masih aktif dan pemeriksaan bakteri positif. Menurut WHO (1998) pengobatan MB diberikan untuk 12 dosis yang diselesaikan dalam 12-18 bulan dan pasien langsung dinyatakan RFT.

c) Dosis untuk anak
Klofazimin:
• Umur dibawah 10 tahun :
o Bulanan 100mg/bln
o Harian 50mg/2kali/minggu
• Umur 11-14 tahun
o Bulanan 100mg/bln
o Harian 50mg/3kali/minggu
DDS:1-2mg /Kg BB
Rifampisin:10-15mg/Kg BB
d) Pengobatan MDT terbaru
Metode ROM adalah pengobatan MDT terbaru. Menurut WHO(1998), pasien kusta tipe PB dengan lesi hanya 1 cukup diberikan dosis tunggal rifampisin 600 mg, ofloksasim 400mg dan minosiklin 100 mg dan pasien langsung dinyatakan RFT, sedangkan untuk tipe PB dengan 2-5 lesi diberikan 6 dosis dalam 6 bulan. Untuk tipe MB diberikan sebagai obat alternatif dan dianjurkan digunakan sebanyak 24 dosis dalam 24 jam.
e) Putus obat
Pada pasien kusta tipe PB yang tidak minum obat sebanyak 4 dosis dari yang seharusnya maka dinyatakan DO, sedangkan pasien kusta tipe MB dinyatakan DO bila tidak minum obat 12 dosis dari yang seharusnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar